Pages

09 June 2013

Contoh Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 Bulanan, Pensiun, THR/Bonus 2013

Contoh Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21

1. Penghasilan Pegawai yang diterima bulanan
Rio adalah pegawai tetap di PT.A sejak 1 Januari 2013. la memperoleh gaji sebulan sebesar Rp. 2.000.000,- dan membayar iuran pensiun sebesar Rp. 25.000,- sebulan.
Rio menikah tetapi belum mempunyai anak (status K/0).

Penghitungan PPh Ps. 21 terutang:
Gaji Sebulan   = 2.000.000
Tunjangan      =  3.000.000
Pengh. Bruto  = 5.000.000
 


Pengurangan 
Biaya Jabatan:        = 5%x 4.000.000 =  250.000
Iuran pensiun          =                                25.000
Total Pengurangan  =                             275.000

Pengh. Netto sebulan                          =      4.725.000
Pengh. Netto setahun 12 x 4.725.000 =    56.700.000

PTKP setahun:
WP sendiri                          =  24.300.000
Tambahan WP kawin         =    2.025.000
Total PTKP (K/0)                =  26.325.000

PhKP setahun =                            =  30.375.000
PPh Ps. 21 = 5 % x 30.375.000    =    1.518.750
PPh Ps. 21 Sebulan                     =       126.563
2. Penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan 
Yanto pegawai pada perusahaan PT.B, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00.
 PT.B mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji.
 PT.B menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Yanto membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan.
Disamping itu PT.B juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT.B membayar iuran pensiun untuk Yanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00.
Pada bulan Juli 2013 Yanto hanya menerima pembayaran berupa gaji.

Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:
http://triaji-nugroho.blogspot.com

Catatan:
  • Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
  • Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah memiliki NPWP. Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Juli adalah sebesar: 120% x Rp28.452,00=Rp 34.140,00
3. Pegawai tetap menerima bonus, gratifikasi, tantiem,Tunjangan Hari Raya (THR) atau tahun baru, premi dan penghasilan yang sifatnya tidak tetap, diberikan sekali saja atau sekali setahun.

A. PPh Pasal 21 atas gaji dan THR
Penghasilan Bruto setahun = 12 x 2.166.000 =      Rp. 26.000.000
THR =                                                                      Rp.   4.000.000+
Jumlah Penghasilan Bruto                                      Rp.  30.000.000,-

Pengurangan:
Biaya Jabatan: 5% x 30.000.000 =  1.500.000
Iuran pensiun 12 x 25.000       =          300.000
Total Pengurangan =                                                Rp.  1.800.000-
Penghasilan netto setahun                                      Rp. 28.200.000,-

PTKP (TK/0) setahun =                             Rp. 24.300.000,-
PhKP setahun =                                        Rp.    3.900.000,-
PPh Ps. 21 terutang: 5% x 3.900.000 =  Rp.     195.000,-

B. PPh Pasal 21 atas gaji
Penghasilan Bruto setahun = 12 x 2.166.000 =      Rp. 26.400.000,-

Pengurangan:
Biaya Jabatan: 5%x 26.400.000 =   1.350.000
Iuran pensiun 12 x 25.000 =               300.000+
Total Pengurangan =                                              Rp.   1.650.000-
Penghasilan netto setahun                                     Rp. 24.750.000

PTKP (TK/0) setahun =                           Rp. 24.300.000,-
PhKP setahun =                                      Rp.             450,-
PPh Ps. 21 terutang: 5% x 450,- = Rp. 23,-


PPh Pasal 21 atas gaji dan THR(A) - PPh Pasal 21 atas gaji(B): 
= Rp. 195.000 - Rp. 23 = Rp. 194.978

22 July 2012

Pemotongan PPh Pasal 21 Terhadap Bukan Pegawai

Dalam konteks PPh Pasal 21 ada subjek penerima penghasilan yang disebut dengan ‘Bukan Pegawai’.  Jenis pekerjaan, keahlian maupun profesinya memang beragam.  Tapi penghitungan PPh Pasal 21-nya hanya menggunakan salah satu dari rumus.
Pengertian Bukan Pegawai
Seperti didefinisikan pada Pasal 1 angka 12 Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ./2009, Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari pemberi kerja (pemotong PPh Pasal 21 atau pemberi penghasilan) sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
Kemudian dalam Pasal 3 huruf c Peraturan Dirjen Pajak tadi, disebutkan beberapa jenis profesi yang tergolong sebagai Bukan Pegawai, yang antara lain meliputi:
  1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yakni Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai dan Aktuaris.  Selain kedelapan profesi ini, meskipun sangat ahli dalam bidangnya, dalam konteks PPh Pasal 21 tidak dikelompokkan sebagai tenaga ahli.  Misalnya ahli komputer atau programmer komputer;
  2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
  3. Olahragawan;
  4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  6. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronikan, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
  7. Agen iklan;
  8. Pengawas atau pengelola proyek;
  9. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
  10. Petugas penjaja barang dagangan;
  11. Petugas dinas luar asuransi;
  12. Distributor perusahaan multilevel marketing (MLM) atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
PPh Pasal 21 Bukan Pegawai
Meski jenis pekerjaan dan profesinya beragam, namun jika kita lihat Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir F.1.1.33.01), pemotongan PPh Pasal 21 terhadap mereka yang Bukan Pegawai tersebut dikelompokkan dalam 6 (enam) kategori, yakni:
  1. Imbalan Distributor MLM (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 2);
  2. Imbalan Petugas Dinas Luar Asuransi (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 3);
  3. Imbalan kepada Penjaja Barang Dagangan (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 4);
  4. Imbalan kepada Tenaga Ahli (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 5);
  5. Imbalan kepada Bukan Pegawai yang Bersifat Berkesinambungan (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 10); dan
  6. Imbalan kepada Bukan Pegawai yang Tidak Bersifat Berkesinambungan (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 11).
Simpel ‘kan? Di samping itu, meski beragam dan dikelompokan dalam enam kategori, namun rumus atau formula untuk menghitung PPh Pasal 21-nya pun mudah dan hanya ada dua rumus/formula, yakni:
Rumus 1
Rumus 1
Rumus 2
Rumus
Rumus atau Formula 1
Secara umum, rumus atau formula 1 (Rumus 1) digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 atas imbalan kepada Bukan Pegawai yang bersifat berkesinambungan.  Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kata ‘berkesinambungan’ adalah bahwa fee atau imbalan yang kita berikan kepada Bukan Pegawai tadi lebih dari sekali selama satu tahun takwim (Januari s.d. Desember).
Misalnya, kita memberikan fee atau imbalan ke seseorang yang Bukan Pegawai pada bulan Maret 2011 dan November 2011.  Karena kedua pembayaran tersebut dilakukan dalam tahun yang sama (2011), maka pembayaran itu disebut dengan pembayaran yang berkesinambungan. Tapi jika misalnya kita membayar imbalannya pada bulan November 2011 dan Januari 2012, maka ini tidak masuk istilah berkesinambungan.  Sebab kedua pembayaran imbalan dilakukan dalam tahun yang berbeda.
Semua yang Bukan Pegawai (kategori 1 s.d. 6), jika menerima imbalan secara berkesinambungan, penghitungan PPh Pasal 21-nya menggunakan Rumus 1. Kemudian saat membuat Bukti Potong PPh Pasal 21-nya, barulah kita masukkan sesuai kategorinya.  Misalnya jika MLM di masukkan di nomor urut 2, jika Tenaga Ahli dimasukkan di nomor urut 5, dst.
Contoh Penghitungan
Misalkan pada tahun 2011 kita membayarkan imbalan kepada seorang Programer Komputer atas jasanya membuatkan aplikasi sistem absensi pegawai.  Fee dibayarkan dua kali, yaitu pada bulan Oktober 2011 sebesar Rp 10.000.000,- yang merupakan uang muka pelaksanaan kerja dan sisanya Rp 15.000.000,- dibayarkan pada bulan Desember 2011 pada saat aplikasi selesai di-install.
Pada bulan Oktober 2011, PPh Pasal 21 dihitung dengan langkah sebagai berikut:
  1. Langkah 1: hitung jumlah bruto, yaitu sebesar 50% x Rp 10.000.000,- = Rp 5.000.000,-;
  2. Langkah 2: tentukan PTKP sebulan.  Asumsikan si programmer berstatus TK/0 yang berarti PTKP setahun Rp 15.840.000,-.  PTKP sebulan adalah PTKP setahun dibagi dengan 12 (dua belas) bulan, yaitu Rp 1.320.000,-;
  3. Langkah 3: hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP), yaitu hasil pada Langkah 1 dikurangi dengan PTKP sebulan pada Langkah 2 = Rp 5.000.000,- (-) Rp 1.320.000,- = Rp 3.680.000,-;
  4. Langkah 4: akumulasikan PKP bulan ini dengan akumulasi PKP bulan sebelumnya.  Jumlah akumulasi ini digunakan sebagai indikator tarif PPh Pasal 17 yang harus digunakan dalam penghitungan PPh Pasal 21 atas imbalan yang dibayarkan bulan ini.  Jika misalnya akumulasi PKP sudah melebihi Rp 50.000.000,- maka tarif yang digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 atas imbalan bulan ini adalah 15%.  Dalam contoh kita ini, pembayaran di bulan Oktober 2011 adalah pembayaran pertama, hingga akumulasi PKP sampai dengan bulan ini masih rp 3.680.000,-;
  5. Langkah 5: hitung PPh Pasal 21 atas imbalan yang dibayar di bulan Oktober, yaitu Rp 3.680.000,- x 5% = Rp 184.000,-
Terhadap pemotongan PPh Pasal 21 di bulan Oktober 2011 ini, kita buatkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir F.1.1.33.01).  Kolom yang diisi adalah nomor urut 10 yaitu kategori Bukan Pegawai yang Menerima Penghasilan Bersifat Berkesinambungan (tidak dimasukkan sebagai Tenaga Ahli karena programer komputer tidak tergolong Tenaga Ahli dalam konteks PPh Pasal 21).
Atas pembayaran sisa sebesar Rp 15.000.000,- pada bulan Desember 2011, PPh Pasal 21 juga dihitung dengan langkah-langkah seperti yang dijelaskan di atas yaitu:
  • Langkah 1: hitung jumlah bruto, yaitu sebesar 50% x Rp 15.000.000,- = Rp 7.500.000,-
  • Langkah 2: tentukan PTKP sebulan.  Asumsikan si programmer berstatus TK/0 yang berarti PTKP setahun Rp 15.840.000,-.  PTKP sebulan adalah PTKP setahun dibagi dengan 12 (dua belas) bulan, yaitu Rp 1.320.000,-
  • Langkah 3: hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP), yaitu hasil pada Langkah 1 dikurangi dengan PTKP sebulan pada Langkah 2 = Rp 7.500.000,- (-) Rp 1.320.000,- = Rp 6.180.000,-;
  • Langkah 4: akumulasikan PKP bulan ini dengan akumulasi PKP bulan sebelumnya.  Jumlah akumulasi ini digunakan sebagai indikator tarif PPh Pasal 17 yang harus digunakan dalam penghitungan PPh Pasal 21 atas imbalan yang dibayarkan bulan ini.  Jika misalnya akumulasi PKP sudah melebihi Rp 50.000.000,- maka tarif yang digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 atas imbalan bulan ini adalah 15%.  Dalam contoh kita ini, pada bulan Oktober 2011 PKP-nya adalah Rp 3.680.000,- dan kita tambah dengan PKP bulan Desember 2011 Rp 6.180.000,- hingga total PKP kumulatif Rp 9.860.000,-. Karena akumulasi PKP masih di baawah Rp 50.000.000,0 maka atas pembayaran fee bulan Desember 2011 masih menggunakan tarif 5%;
  • Langkah 5: hitung PPh Pasal 21 atas imbalan yang dibayar di bulan Desember, yaitu Rp 6.180.000,- x 5% = Rp 309.000,-
Syarat PTKP dalam Rumus 1
Hal yang perlu diingat saat menggunakan Rumus 1 adalah bahwa pengurangan PTKP hanya berlaku bagi Bukan Pegawai yang memenuhi seluruh syarat berikut:
  1. Sudah ber-NPWP;
  2. Penghasilan berasal dari hubungan kerja dengan Pemberi Penghasilan; dan
  3. Tidak memperoleh penghasilan lainnya.
Jika salah satu dari ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi, maka unsur PTKP dalam Rumus 1 tersebut diisi dengan 0 (nol).  Bagi Bukan Pegawai yang belum ber-NPWP, selain tidak berhak mendapat pengurangan PTKP, juga dikenai tarif PPh Pasal 21 lebih tinggi 20% dari tarif normal yang disebutkan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh.  Ketiga syarat tersebut tercantum dalam Pasal 13 ayat (1) PER-31/PJ./2009.
Dalam praktik, banyak para pemotong PPh Pasal 21 yang ‘mencari aman’ dengan cara tidak menerapkan PTKP dalam Rumus 1 tadi.  Sebab dengan tidak menerapkan PTKP dalam rumus tersebut, berarti PPh Pasal 21 akan menjadi lebih besar.  Dan ini tentunya Syarat yang ke-2 agar Bukan Pegawai bisa memperoleh pengurangan PTKP adalah bahwa penghasilan yang diberikan berasal dari hubungan kerja dengan pemberi penghasilan. Baik dalam PER-31/PJ./2009 maupun dalam PER-57/PJ./2009, tidak ada penjelasan maupun contoh terkait dengan syarat ini.  Itu sebabnya, banyak pemotong PPh Pasal 21 yang tidak mau ambil pusing dan langsung memilih untuk tidak menerapkan PTKP dalam Rumus 1 tadi.
Syarat yang ke-3 terkait dengan sumber penghasilan yang diterima oleh Bukan Pegawai pada tahun yang bersangkutan.  Misalnya saya. Jika dalam tahun 2011 ini menerima fee dari PT A dan juga dari PT B, maka pada waktu PT A menghitung PPh Pasal 21 atas fee saya tidak boleh menerapkan PTKP.  Begitu juga dengan PT B.  Tapi bagaimana mungkin PT A bisa memastikan bahwa saya tidak menerima fee selain dari mereka?  Oleh sebab itu, para pemotong PPh Pasal 21, seperti PT A tadi, biasanya akan langsung memilih untuk tidak menerapkan PTKP dalam Rumus 1.  Jika misalnya si penerima penghasilan keberatan dan minta agar PTKP-nya dihitung, biasanya pemotong PPh Pasal 21 akan meminta untuk dibuatkan Surat Pernyataan yang menyatakan bahwa si penerima penghasilan hanya menerima penghasilan dari satu sumber saja.
Rumus atau Formula 2
Secara umum, rumus atau formula 2 digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 atas imbalan kepada Bukan Pegawai yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.  Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kata ‘tidak bersifat berkesinambungan’ adalah bahwa imbalan yang kita berikan kepada Bukan Pegawai tadi hanya sekali selama satu tahun takwim (Januari s.d. Desember).
Rumus 2 ini lebih sederhana karena tidak memperhitungkan PTKP dan tidak ada syarat-syarat lainnya.  PPh Pasal 21 dihitung secara simpel yaitu = (50% x imbalan bruto) x tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh. Misalnya pada setiap akhir tahun kita menggunakan jasa programer komputer untuk melakukan maintenance atas aplikasi komputer dan membayarkan fee sebesar Rp 15.000.000,-. Maka atas fee tersebut dipotong PPh Pasal 21 sebesar:
  • = (50% x Rp 15.000.000,-) x 5%
  • = Rp 7.500.000,- x 5% (karena masih di bawah Rp 50 juta).
  • = Rp 375.000,-
Terhadap pemotongan PPh Pasal 21 ini kita buatkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir F.1.1.33.01) dan kolom yang diisi adalah kolom 11 yaitu kategori Bukan Pegawai yang Menerima Penghasilan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.  Meski programmer komputer itu sangat ahli dalam bidangnya, tapi sekali lagi, dalam konteks pemotongan PPh Pasal 21 selain Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai dan Aktuaris, tidak digolongkan sebagai Tenaga Ahli.

*Oleh Triaji A. Nugroho & dari berbagai literatur.

14 April 2012

Aplikasi e-SPT PPh Badan Terbaru Update 02 April 2012

DJP telah mengeluarkan e-SPT Tahunan Badan terbaru tanggal 2 April 2012

Perbedaan yang mendasar dengan versi sebelumnya adalah versi terbaru ini dengan formulir KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA , versi sebelumnya dengan formulir DEPARTEMEN KEUANGAN.


Aplikasi e-SPT Tahun Pajak 2010 Update DJP - 02042012 dapat di download disini:
        
        e-SPT PPh Pasal 25/29 Badan:
        Installer e-SPT PPh Badan Dollar versi 1.0 (Update Terbaru)
        Installer e-SPT PPh Badan Rupiah versi 1.0 (Update Terbaru)

Apabila server DJP offline atau sibuk, dapat di download dari Mediafire disini:
 Installer e-SPT PPh Badan Rupiah versi 1.0 (Update Terbaru)

Sumber: www.pajak.go.id

19 March 2012

Tata Cara Pengajuan dan Penyelesain Keberatan

Sesuai dengan Pasal 1 PER-49/PJ./2009 Tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesain Keberatan bahwa :

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
  1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, kecuali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan Pasal 13A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP;
  2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
  3. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
  4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
  5. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Form baku permohonan pengajuan keberatan Wajib Pajak berikut petunjuk pengisiannya sesuai dengan ketentuan tersebut dapat di download dalam format Word (Doc) disini.

Menentukan Subjek Pajak Dalam dan Luar Negeri

Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ./2011 tanggal 28 Desember 2011.

Subjek pajak yang secara normatif (sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan) sudah ditetapkan sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) memiliki hak serta kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi atau dilaksanakan. Kewajiban perpajakan yang harus dilakukan di antaranya mendaftarkan diri untuk ber-NPWP, memotong/memungut pajak, menyetor dan membayar pajak serta melaporkan SPT.
Bagi subjek pajak berbentuk badan, kewajiban ber-NPWP dan seterusnya tersebut sudah harus dilakukan manakala badan tersebut ditetapkan sebagai SPDN.  Sementara bagi subjek pajak orang pribadi (individu), kewajiban tersebut akan muncul pada saat yang bersangkutan menerima atau memperoleh penghasilan di atas PTKP atau secara normatif ditunjuk menjadi pemotong/pemungut pajak.
Bagi subjek pajak yang secara normatif ditetapkan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), mereka tidak dikenai kewajiban untuk ber-NPWP serta tidak wajib melaporkan SPT.  SPLN hanya memiliki kewajiban untuk bersedia membayar pajak dan itu pun jika penghasilannya mereka terima/peroleh dari sumber di Indonesia.  Umumnya pembayaran pajaknya ini dilakukan melalui pemotongan PPh Pasal 26 oleh pihak pemberi penghasilan di Indonesia.  SPLN hanya wajib ber-NPWP dan melaksanakan kewajiban perpajakan lainnya bila mereka mempunyai BUT di Indonesia.  Sebab secara fiskal, BUT milik SPLN dipersamakan dengan SPDN berbentuk badan.

Subjek Pajak Badan
Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) terdiri dari subjek pajak yang berupa orang pribadi atau individu dan juga badan (perusahaan atau organisasi).  Mengenai pengertian subjek pajak badan ini kita bisa lihat di Pasal 1 angka 3 UU KUP.
Menentukan badan termasuk SPDN atau SPLN, relatif sangat mudah. Kita tinggal melihat akte pendiriannya atau melihat tempat kedudukan (kantor pusat) sesuai keadaan sebenarnya.  Jika menurut akte pendiriannya badan itu didirikan di Indonesia, maka dapat langsung disimpulkan bahwa badan itu SPDN.  Tetapi jika menurut aktenya badan itu didirikan tidak di Indonesia, kita cukup melihat di mana letak tempat kedudukan (kantor pusatnya).  Jika tempat kedudukannya (kantor pusatnya) berada di Indonesia, badan itu juga sudah menjadi SPDN.
Jika badan tersebut menurut akte pendiriannya tidak didirikan di Indonesia dan tempat kedudukannya (kantor pusatnya) juga tidak berada di Indonesia, maka badan tersebut adalah SPLN (Subjek Pajak Luar Negeri).
Apabila badan yang berstatus SPLN itu memiliki cabang atau perwakilan di Indonesia, maka cabang itu bisa disebut dengan BUT (bentuk usaha tetap). Disebut BUT sebab jika badan itu berasal dari negara treaty partner, penentuan ada-tidaknya BUT harus sesuai dengan ketentuan tax treaty. Jika memang ada BUT di Indonesia, maka BUT tersebut diperlakukan sama seperti SPDN badan.

Orang Pribadi
Berbeda dengan subjek pajak badan, untuk menentukan apakah orang pribadi (individu) berstatus SPDN atau SPLN relatif lebih sulit.  Secara teori, dalam Pasal 3 PER-43/PJ./2011, dikatakan bahwa orang pribadi menjadi SPDN apabila memenuhi salah satu kondisi berikut:
  1. Bertempat tinggal di Indonesia; atau
  2. Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; atau
  3. Dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Orang pribadi (individu) yang merupakan SPDN adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia.  Kata ‘bertempat tinggal di Indonesia’ dalam konteks ini berarti mempunyai tempat tinggal (place of residence) yang digunakannya baik untuk:
  1. berdiam (permanent dwelling place), yang tidak bersifat sementara dan tidak hanya sebagai tempat persinggahan;
  2. melakukan kegiatan sehari-hari atau menjalankan kebiasaannya (ordinary course of life); atau
  3. untuk tempat menjalankan kebiasaaan (place of habitual abode).
Orang pribadi yang bertempat tinggal tersebut, jika kemudian pergi ke luar negeri, tetap dianggap bertempat tinggal di Indonesia apabila keberadaannya di luar negeri berpindah-pindah dan berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
Individu yang dilahirkan di Indonesia dan masih berada di Indonesia dianggap mempunyai tempat domisili (place of domicile) di Indonesia, juga dikategorikan sebagai SPDN.
Orang pribadi Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri, dianggap tidak bertempat tinggal di Indonesia apabila bertempat tinggal tetap di luar negeri yang dibuktikan dengan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk luar negeri, yaitu:
  • Green Card;
  • Identity card;
  • Student card;
  • Pengesahan alamat di luar negeri pada passport oleh Kantor Perwakilan RI di luar negeri;
  • Surat keterangan dari Kedubes RI atau Kantor Perwakilan RI di luar negeri; atau
  • Tertulis resmi di passport oleh Kantor Imigrasi negera setempat.
Penentuan Tempat Tinggal
Penentuan tempat tinggal (place of residence atau place of domicile) didasarkan pada keadaan yang sebenarnya. Artinya kita tidak perlu melihat pada formallitas dokumen seperti kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat izin tinggal lainnya.  Jika pada kenyataannya individu tadi bertempat tinggal di suatu daerah di Indonesia, meskipun misalnya ia tidak memiliki KTP atau izin tinggal lainnya, maka secara normatif individu tadi dianggap memiliki place of residence atau place of domicile di Indonesia.
Tempat tinggal tadi juga tidak harus dimiliki oleh orang pribadi (individu) yang bersangkutan.  Jika misalnya tempat itu disewa atau disediakan oleh pihak lain (misalnya disediakan oleh kantornya), maka itu tetap dianggap sebagai tempat tinggal dalam penentuan status SPDN.
Faktor Kedatangan ke Indonesia
Bagi individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, ia akan menjadi SPDN apabila ia berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Jangka waktu ini ditentukan dengan menghitung lamanya ia berada di Indonesia, yang keberadaannya di Indonesia dapat secara terus menerus atau terputus-putus, dan bagian dari hari dihitung penuh satu hari.
Misalnya seseorang datang ke Indonesia pada tanggal 20 April 2012, maka hitungan mundur 183 hari dimulai sejak tanggal 20 April 2012 hingga dua belas bulan ke depan sampai dengan tanggal 19 April 2013. Jika dari 20 April 2012 hingga 19 April 2013 jumlah hari kedatangannya sudah melebihi 183 hari, maka ia sudah dikategorikan sebagai SPDN. Kedatangannya ke Indonesia bisa saja secara terus menerus atau terputus-putus.  Misalnya jika kedatangannya ke Indonesia dilakukan tanggal 20 April 2012 hingga 21 April 2012.  Kemudian datang lagi pada bulan Juni 2012 (secara terputus-putus).
Dalam konteks ini, kata ‘berada’ juga harus didasarkan pada keadaan yang sebenarnya berada di dalam wilayah Indonesia.  Kondisi ini bisa dibuktikan misalnya dengan bukti-bukti menginap (akomodasi), passport, kartu visa, bukti transportasi seperti tiket pesawat, dan lain sebagainya.
Untuk individu yang keberadaannya di Indonesia belum melebihi jangka waktu 183 hari tersebut tetapi yang bersangkutan memiliki niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, maka secara normatif ia juga sudah termasuk sebagai SPDN. Ia dianggap memiliki niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, dalam hal:
  1. Ia menunjukkan niatnya tersebut dengan bukti dokumen: Visa kerja; atau Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS), yang lamanya lebih dari 183 hari atau kontrak/perjanjian untuk melakukan pekerjaan, usaha, atau kegiatan yang dilakukan di Indonesia selama lebih dari 183 hari.
  2. Ia melakukan tindakan yang menunjukkan bahwa dirinya akan bertempat tinggal di Indonesia atau bersiap untuk bertempat tinggal di Indonesia, seperti menyewa atau mengontrak tempat termasuk menyewa tempat tinggal di Indonesia, memindahkan anggota keluarganya atau memperoleh tempat yang disediakan oleh pihak lain.

29 February 2012

Sanksi Pajak Telat/Tidak menyampaikan SPT (Surat Pemberitahuan)

Sanksi pajak berdasarkan pasal 7 UU KUP No. 28 Tahun 2007 dikenakan apabila wajib pajak tidak menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tepat waktu sesuai dalam jangka waktu penyampaian SPT atau batas waktu perpanjangan surat pemberitahuan dimana jangka waktu tersebut adalah sesuai dengan pasal 3 ayat 3 dan pasal 3 ayat 4 undang–undang Ketentuan Umum Perpajakan No. 28 Tahun 2007 masing – masing yang berbunyi :
a) untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;
b) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak;
c) atau untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
Dan
“Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunnan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”
Akan dikenakan denda dengan perincian sebagai berikut : dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
Tetapi ada pengecualian atas sanksi tersebut terhadap :
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
c. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
d. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
e. Wajib pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
g. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau
h. Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Untuk menghindari hal – hal tersebut diperlukan suatu manajemen pajak yang baik dimana kita harus memperhatikan jatuh tempo pelaporan pajak dan memperhatikan dengan seksama dan detail. Manajemen pajak harus memperhatikan juga mengenai dokumentasi perpajakan, penyimpanan dokumen – dokumen perpajakan, dan lain lain.

Pengertian JUMLAH BRUTO Dalam Pemotongan PPh Pasal 23

Salah satu obyek Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah imbalan sehubungan dengan:
jasa teknik,
jasa manajemen,
jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan
jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21

Jenis jasa lain selanjutnya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 244/PMK.03/2008 yang bersifat positif list. Tarif PPh Pasal 23 dipotong oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

Permasalahan yang sering terjadi dilapangan adalah perbedaan penafsiran mengenai arti jumlah bruto. Untuk menjawab perbedaan penafsiran tersebut, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-53/PJ./2009 tentang JUMLAH BRUTO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008.

Surat Edaran tersebut mengatur mengenai pengertian jumlah bruto sebagai berikut:
A. Pengertian Jumlah Bruto
Yang dimaksud dengan jumlah bruto yang merupakan Dasar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:
1. pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
     Syarat:
kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan.
2. pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material;
Syarat:
faktur pembelian barang atau material
3. pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga;
Syarat:
faktur tagihan dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis.
4. pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga.
Syarat:
faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga.
B. Pengertian Jumlah bruto tersebut (pengurangan) diatas tidak berlaku untuk:
Pengertian tersebut di atas tidak berlaku atas (1) penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering; (2) atau dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa tersebut telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

C. Contoh Perhitungan
1. PT Sumber Tenaga merupakan perusahaan penyedia tenaga kerja. PT Sumber Tenaga mendapat kontrak dari PT Maju Terus untuk menyediakan tenaga kerja pemasaran sebanyak 20 orang dengan mendapat imbalan jasa sebesar Rp 20.000.000,00 Tenaga kerja tersebut selanjutnya menjadi pegawai PT Maju Terus. Atas pembayaran yang dilakukan PT. Maju Terus kepada PT. Sumber Tenaga dipotong PPh Pasal 23 oleh PT. Maju Terus sebesar: 2% Rp. 20.000.000,- = Rp. 400.000,-
2. PT Aman Jaya merupakan perusahaan penyedia tenaga kerja untuk keamanan (satpam). PT Aman Jaya mendapat kontrak penyediaan tenaga kerja satpam sebanyak 20 orang dari PT Dwi Makmur. Tenaga kerja satpam tersebut tetap merupakan pegawai PT Aman Jaya. Dalam Kontrak disepakati bahwa pembayaran atas penyerahan jasa oleh PT Aman Jaya terdiri dari gaji untuk 20 orang satpam per bulan sebesar Rp 20.000.000,00 dan imbalan atas jasa penyediaan satpam per bulan sebesar Rp 2.000.000,-
Rincian tagihan PT Aman Jaya kepada PT Dwi Makmur:
Pembayaran gaji 20 orang satpam Rp 20.000.000,00
Imbalan Jasa Rp . 2.000.000,00
Atas pembayaran yang dilakukan PT. Dwi Makmur kepada PT Aman Jaya dipotong PPh Pasal 23 oleh PT. DwiMakmur sebesar: 2% x Rp. 2.000.000,- = Rp. 40.000,-
Dalam hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp. 22.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT. Dwi Makmur atas pembayaran kepada PT. Aman Jaya adalah sebesar 2% x Rp. 22.000.000,- = Rp. 440.000,-
3. PT Megah (pihak pertama) melakukan kontrak dengan PT Satu Sarana selaku perusahaan agen periklanan (pihak kedua) untuk membuat iklan sekaligus memasang iklan pada perusahaan media (pihak ketiga). Nilai kontrak yang telah disepakati adalah sebesar Rp 103.000.000,00
Rincian tagihan PT Satu Sarana kepada PT Megah adalah:
1) material untuk pembuatan iklan ……….. Rp 15.000.000,-
2) jasa konsultan (terkait pembuatan dan pemasangan iklan)……….. Rp. 5.000.000,-
3) Fee agen………………………………… Rp. 3.000.000,-
4) Biaya pemasangan iklan ke perusahaan media Rp. 80.000.000,-
Pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan PT Satu Sarana atas pembayaran jasa pemasangan iklan kepada perusahaan media adalah sebesar: 2% x Rp. 80.000.000,- = Rp. 1.600.000,-
Pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan PT. Megah atas pembayaran jasa konsultasi dan jasa keagenan kepada PT. Satu Sarana adalah sebesar:
2% x Rp. 5.000.000,- = Rp. 100.000,- untuk jasa konsultasi; dan
2% x Rp. 3.000.000,- = Rp. 60.000,- untuk jasa keagenan
Dalam hal tidak tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp 103.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Megah atas pembayaran kepada PT Satu Sarana adalah sebesar: 2% x Rp. 103.000.000,- = Rp. 2.060.000,-
4. PT Terang mengikat kontrak dengan PT Garmindo untuk pembuatan seragam kantor PT Terang berdasarkan model dan spesifikasi yang telah ditentukan oleh PT Terang. Dalam kontrak disepakati bahwa PT Terang akan menyediakan bahan baku utama berupa kain dan PT Garmindo akan menyediakan bahan tambahan. Imbalan yang disepakati atas kontrak tersebut adalah sebesar Rp 25.000.000,- tidak termasuk biaya bahan tambahan. PT Garmindo mengeluarkan biaya sebesar Rp 5.000.000,- untuk bahan tambahan.
Rincian tagihan PT Garmindo kepada PT Terang:
Biaya untuk bahan tambahan …………………… Rp. 5.000.000,-
Imbalan Jasa maklon……………………………… Rp. 25.000.000,-
Atas pembayaran yang dilakukan PT. Terang kepada PT. Garmindo dipotong PPh Pasal 23 oleh PT. Terang sebesar: 2% x Rp. 25.000.000,- = Rp. 500.000,-
Dalam hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp. 30.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT. Terang atas pembayaran kepada PT. Garmindo adalah sebesar: 2% x Rp. 30.000.000,- = Rp. 600.000,-
Untuk acara pembukaan cabang baru, PT Abadi meminta CV Sedap yang bergerak di bidang pengadaan catering untuk menyediakan makanan yang terdiri dari makanan pembuka, makanan utama, dan makanan penutup untuk sekitar 500 orang. Kontrak yang disepakati untuk pengadaan catering tersebut adalah Rp 20.000.000,- Atas pembayaran yang dilakukan PT Abadi kepada CV Sedap dipotong PPh Pasal 23 Oleh PT Abadi sebesar: 2% x Rp. 20.000.000,- = Rp. 400.000,-

Ringkasan Tarif PPh.23

Berikut ringkasan tarif PPh Pasal 23 :
  1. Objek pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 15% dari jumlah bruto. Penghasilan dalam negeri atas Deviden, Bunga (Selain yang telah dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) final), Royalti, Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Dasar Hukum Pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan.
  2. Objek pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari jumlah bruto. Penghasilan Sewa(Selain yang telah dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) final) dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan. Dasar Hukum SE-35/PJ/2010.
  3. Jenis Jasa Lain yang dikenakan tarif PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari jumlah bruto. Dasar Hukum PMK.244/PMK.03/2008.