Pages

22 July 2012

Pemotongan PPh Pasal 21 Terhadap Bukan Pegawai

Dalam konteks PPh Pasal 21 ada subjek penerima penghasilan yang disebut dengan ‘Bukan Pegawai’.  Jenis pekerjaan, keahlian maupun profesinya memang beragam.  Tapi penghitungan PPh Pasal 21-nya hanya menggunakan salah satu dari rumus.
Pengertian Bukan Pegawai
Seperti didefinisikan pada Pasal 1 angka 12 Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ./2009, Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari pemberi kerja (pemotong PPh Pasal 21 atau pemberi penghasilan) sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
Kemudian dalam Pasal 3 huruf c Peraturan Dirjen Pajak tadi, disebutkan beberapa jenis profesi yang tergolong sebagai Bukan Pegawai, yang antara lain meliputi:
  1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yakni Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai dan Aktuaris.  Selain kedelapan profesi ini, meskipun sangat ahli dalam bidangnya, dalam konteks PPh Pasal 21 tidak dikelompokkan sebagai tenaga ahli.  Misalnya ahli komputer atau programmer komputer;
  2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
  3. Olahragawan;
  4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  6. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronikan, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
  7. Agen iklan;
  8. Pengawas atau pengelola proyek;
  9. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
  10. Petugas penjaja barang dagangan;
  11. Petugas dinas luar asuransi;
  12. Distributor perusahaan multilevel marketing (MLM) atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
PPh Pasal 21 Bukan Pegawai
Meski jenis pekerjaan dan profesinya beragam, namun jika kita lihat Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir F.1.1.33.01), pemotongan PPh Pasal 21 terhadap mereka yang Bukan Pegawai tersebut dikelompokkan dalam 6 (enam) kategori, yakni:
  1. Imbalan Distributor MLM (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 2);
  2. Imbalan Petugas Dinas Luar Asuransi (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 3);
  3. Imbalan kepada Penjaja Barang Dagangan (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 4);
  4. Imbalan kepada Tenaga Ahli (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 5);
  5. Imbalan kepada Bukan Pegawai yang Bersifat Berkesinambungan (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 10); dan
  6. Imbalan kepada Bukan Pegawai yang Tidak Bersifat Berkesinambungan (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 11).
Simpel ‘kan? Di samping itu, meski beragam dan dikelompokan dalam enam kategori, namun rumus atau formula untuk menghitung PPh Pasal 21-nya pun mudah dan hanya ada dua rumus/formula, yakni:
Rumus 1
Rumus 1
Rumus 2
Rumus
Rumus atau Formula 1
Secara umum, rumus atau formula 1 (Rumus 1) digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 atas imbalan kepada Bukan Pegawai yang bersifat berkesinambungan.  Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kata ‘berkesinambungan’ adalah bahwa fee atau imbalan yang kita berikan kepada Bukan Pegawai tadi lebih dari sekali selama satu tahun takwim (Januari s.d. Desember).
Misalnya, kita memberikan fee atau imbalan ke seseorang yang Bukan Pegawai pada bulan Maret 2011 dan November 2011.  Karena kedua pembayaran tersebut dilakukan dalam tahun yang sama (2011), maka pembayaran itu disebut dengan pembayaran yang berkesinambungan. Tapi jika misalnya kita membayar imbalannya pada bulan November 2011 dan Januari 2012, maka ini tidak masuk istilah berkesinambungan.  Sebab kedua pembayaran imbalan dilakukan dalam tahun yang berbeda.
Semua yang Bukan Pegawai (kategori 1 s.d. 6), jika menerima imbalan secara berkesinambungan, penghitungan PPh Pasal 21-nya menggunakan Rumus 1. Kemudian saat membuat Bukti Potong PPh Pasal 21-nya, barulah kita masukkan sesuai kategorinya.  Misalnya jika MLM di masukkan di nomor urut 2, jika Tenaga Ahli dimasukkan di nomor urut 5, dst.
Contoh Penghitungan
Misalkan pada tahun 2011 kita membayarkan imbalan kepada seorang Programer Komputer atas jasanya membuatkan aplikasi sistem absensi pegawai.  Fee dibayarkan dua kali, yaitu pada bulan Oktober 2011 sebesar Rp 10.000.000,- yang merupakan uang muka pelaksanaan kerja dan sisanya Rp 15.000.000,- dibayarkan pada bulan Desember 2011 pada saat aplikasi selesai di-install.
Pada bulan Oktober 2011, PPh Pasal 21 dihitung dengan langkah sebagai berikut:
  1. Langkah 1: hitung jumlah bruto, yaitu sebesar 50% x Rp 10.000.000,- = Rp 5.000.000,-;
  2. Langkah 2: tentukan PTKP sebulan.  Asumsikan si programmer berstatus TK/0 yang berarti PTKP setahun Rp 15.840.000,-.  PTKP sebulan adalah PTKP setahun dibagi dengan 12 (dua belas) bulan, yaitu Rp 1.320.000,-;
  3. Langkah 3: hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP), yaitu hasil pada Langkah 1 dikurangi dengan PTKP sebulan pada Langkah 2 = Rp 5.000.000,- (-) Rp 1.320.000,- = Rp 3.680.000,-;
  4. Langkah 4: akumulasikan PKP bulan ini dengan akumulasi PKP bulan sebelumnya.  Jumlah akumulasi ini digunakan sebagai indikator tarif PPh Pasal 17 yang harus digunakan dalam penghitungan PPh Pasal 21 atas imbalan yang dibayarkan bulan ini.  Jika misalnya akumulasi PKP sudah melebihi Rp 50.000.000,- maka tarif yang digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 atas imbalan bulan ini adalah 15%.  Dalam contoh kita ini, pembayaran di bulan Oktober 2011 adalah pembayaran pertama, hingga akumulasi PKP sampai dengan bulan ini masih rp 3.680.000,-;
  5. Langkah 5: hitung PPh Pasal 21 atas imbalan yang dibayar di bulan Oktober, yaitu Rp 3.680.000,- x 5% = Rp 184.000,-
Terhadap pemotongan PPh Pasal 21 di bulan Oktober 2011 ini, kita buatkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir F.1.1.33.01).  Kolom yang diisi adalah nomor urut 10 yaitu kategori Bukan Pegawai yang Menerima Penghasilan Bersifat Berkesinambungan (tidak dimasukkan sebagai Tenaga Ahli karena programer komputer tidak tergolong Tenaga Ahli dalam konteks PPh Pasal 21).
Atas pembayaran sisa sebesar Rp 15.000.000,- pada bulan Desember 2011, PPh Pasal 21 juga dihitung dengan langkah-langkah seperti yang dijelaskan di atas yaitu:
  • Langkah 1: hitung jumlah bruto, yaitu sebesar 50% x Rp 15.000.000,- = Rp 7.500.000,-
  • Langkah 2: tentukan PTKP sebulan.  Asumsikan si programmer berstatus TK/0 yang berarti PTKP setahun Rp 15.840.000,-.  PTKP sebulan adalah PTKP setahun dibagi dengan 12 (dua belas) bulan, yaitu Rp 1.320.000,-
  • Langkah 3: hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP), yaitu hasil pada Langkah 1 dikurangi dengan PTKP sebulan pada Langkah 2 = Rp 7.500.000,- (-) Rp 1.320.000,- = Rp 6.180.000,-;
  • Langkah 4: akumulasikan PKP bulan ini dengan akumulasi PKP bulan sebelumnya.  Jumlah akumulasi ini digunakan sebagai indikator tarif PPh Pasal 17 yang harus digunakan dalam penghitungan PPh Pasal 21 atas imbalan yang dibayarkan bulan ini.  Jika misalnya akumulasi PKP sudah melebihi Rp 50.000.000,- maka tarif yang digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 atas imbalan bulan ini adalah 15%.  Dalam contoh kita ini, pada bulan Oktober 2011 PKP-nya adalah Rp 3.680.000,- dan kita tambah dengan PKP bulan Desember 2011 Rp 6.180.000,- hingga total PKP kumulatif Rp 9.860.000,-. Karena akumulasi PKP masih di baawah Rp 50.000.000,0 maka atas pembayaran fee bulan Desember 2011 masih menggunakan tarif 5%;
  • Langkah 5: hitung PPh Pasal 21 atas imbalan yang dibayar di bulan Desember, yaitu Rp 6.180.000,- x 5% = Rp 309.000,-
Syarat PTKP dalam Rumus 1
Hal yang perlu diingat saat menggunakan Rumus 1 adalah bahwa pengurangan PTKP hanya berlaku bagi Bukan Pegawai yang memenuhi seluruh syarat berikut:
  1. Sudah ber-NPWP;
  2. Penghasilan berasal dari hubungan kerja dengan Pemberi Penghasilan; dan
  3. Tidak memperoleh penghasilan lainnya.
Jika salah satu dari ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi, maka unsur PTKP dalam Rumus 1 tersebut diisi dengan 0 (nol).  Bagi Bukan Pegawai yang belum ber-NPWP, selain tidak berhak mendapat pengurangan PTKP, juga dikenai tarif PPh Pasal 21 lebih tinggi 20% dari tarif normal yang disebutkan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh.  Ketiga syarat tersebut tercantum dalam Pasal 13 ayat (1) PER-31/PJ./2009.
Dalam praktik, banyak para pemotong PPh Pasal 21 yang ‘mencari aman’ dengan cara tidak menerapkan PTKP dalam Rumus 1 tadi.  Sebab dengan tidak menerapkan PTKP dalam rumus tersebut, berarti PPh Pasal 21 akan menjadi lebih besar.  Dan ini tentunya Syarat yang ke-2 agar Bukan Pegawai bisa memperoleh pengurangan PTKP adalah bahwa penghasilan yang diberikan berasal dari hubungan kerja dengan pemberi penghasilan. Baik dalam PER-31/PJ./2009 maupun dalam PER-57/PJ./2009, tidak ada penjelasan maupun contoh terkait dengan syarat ini.  Itu sebabnya, banyak pemotong PPh Pasal 21 yang tidak mau ambil pusing dan langsung memilih untuk tidak menerapkan PTKP dalam Rumus 1 tadi.
Syarat yang ke-3 terkait dengan sumber penghasilan yang diterima oleh Bukan Pegawai pada tahun yang bersangkutan.  Misalnya saya. Jika dalam tahun 2011 ini menerima fee dari PT A dan juga dari PT B, maka pada waktu PT A menghitung PPh Pasal 21 atas fee saya tidak boleh menerapkan PTKP.  Begitu juga dengan PT B.  Tapi bagaimana mungkin PT A bisa memastikan bahwa saya tidak menerima fee selain dari mereka?  Oleh sebab itu, para pemotong PPh Pasal 21, seperti PT A tadi, biasanya akan langsung memilih untuk tidak menerapkan PTKP dalam Rumus 1.  Jika misalnya si penerima penghasilan keberatan dan minta agar PTKP-nya dihitung, biasanya pemotong PPh Pasal 21 akan meminta untuk dibuatkan Surat Pernyataan yang menyatakan bahwa si penerima penghasilan hanya menerima penghasilan dari satu sumber saja.
Rumus atau Formula 2
Secara umum, rumus atau formula 2 digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 atas imbalan kepada Bukan Pegawai yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.  Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kata ‘tidak bersifat berkesinambungan’ adalah bahwa imbalan yang kita berikan kepada Bukan Pegawai tadi hanya sekali selama satu tahun takwim (Januari s.d. Desember).
Rumus 2 ini lebih sederhana karena tidak memperhitungkan PTKP dan tidak ada syarat-syarat lainnya.  PPh Pasal 21 dihitung secara simpel yaitu = (50% x imbalan bruto) x tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh. Misalnya pada setiap akhir tahun kita menggunakan jasa programer komputer untuk melakukan maintenance atas aplikasi komputer dan membayarkan fee sebesar Rp 15.000.000,-. Maka atas fee tersebut dipotong PPh Pasal 21 sebesar:
  • = (50% x Rp 15.000.000,-) x 5%
  • = Rp 7.500.000,- x 5% (karena masih di bawah Rp 50 juta).
  • = Rp 375.000,-
Terhadap pemotongan PPh Pasal 21 ini kita buatkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir F.1.1.33.01) dan kolom yang diisi adalah kolom 11 yaitu kategori Bukan Pegawai yang Menerima Penghasilan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.  Meski programmer komputer itu sangat ahli dalam bidangnya, tapi sekali lagi, dalam konteks pemotongan PPh Pasal 21 selain Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai dan Aktuaris, tidak digolongkan sebagai Tenaga Ahli.

*Oleh Triaji A. Nugroho & dari berbagai literatur.

1 comment:

  1. Bos sebelumnya thx atas reviewnya saya sangat terbantu. Saya kira opini 'mencari aman' ini menjadi lazim karena lebih praktis dan berlaku menyeluruh kepada seluruh agent direct selling. tapi ada pertanyaan:
    1. apakah rumus untuk syarat yg tidak terpenuhi nya cuma stop di : (50% x imbalan bruto) x tarif pph
    tanpa ada embel2 x 120% karena tidak punya npwp?
    2. apakah kita sebagai perusahaan harus membayar dan melaporkan pph 21 para agent ini setiap bulan (karena bonus diberikan bulanan kepada seluruh agent) atau menahan dan dibayarkan sekaligus pada waktu tertentu (misalnya akhir tahun)

    terima kasih.

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.