Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan negara mitra P3B
yang efektif akan memberikan manfaat untuk menghilangkan dan
mengeliminir pengenaan pajak berganda internasional salah satunya dengan
membatasi pengenaan pajak di negara tempat penghasilan bersumber.
Dalam penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda masih sering terjadi perbedaan pendapat baik antara wajib pajak dengan fiscus, antara wajib pajak satu dengan lainnya maupun antara fiscus sendiri, hal seperti ini harus segera direduksi untuk memberikan kepastian sebagai dasar pemungutan pajak dan penerapan P3B.
Dari penelusuran terhadap berbagai peraturan berkaitan dengan penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda, berikut poin - poin penting yang harus diperhatikan :
Dalam penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda masih sering terjadi perbedaan pendapat baik antara wajib pajak dengan fiscus, antara wajib pajak satu dengan lainnya maupun antara fiscus sendiri, hal seperti ini harus segera direduksi untuk memberikan kepastian sebagai dasar pemungutan pajak dan penerapan P3B.
Dari penelusuran terhadap berbagai peraturan berkaitan dengan penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda, berikut poin - poin penting yang harus diperhatikan :
1. Dalam P3B diatur ketentuan-ketentuan tentang pemotongan PPh Pasal
26 dengan tarif yang lebih rendah atau pembebasan pemotongan PPh Pasal
26 terhadap beberapa jenis penghasilan yang dibayar atau terutang oleh
pihak yang membayar penghasilan yang berkedudukan di Indonesia kepada
Wajib Pajak luar negeri yang berkedudukan di negara-negara treaty
partner.
2. Sehubungan dengan
hal tersebut, untuk memberikan kemudahan bagi semua pihak, penerapan PPh
Pasal 26 sesuai dengan P3B dilaksanakan sebagai berikut :
a. Wajib Pajak luar negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan
Domisili kepada pihak yang berkedudukan di Indonesia yang membayar
penghasilan dan menyampaikan fotokopi Surat Keterangan Domisili tersebut
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang membayar
penghasilan terdaftar.
b.
Asli Surat Keterangan Domisili tersebut menjadi dasar bagi pihak yang
membayar penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai dengan yang
ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat
kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar negeri tersebut.
Dalam
hal Surat Keterangan Domisili akan digunakan untuk lebih dari satu
pembayar penghasilan, maka Wajib Pajak luar negeri dapat menyampaikan
fotokopi yang telah dilegalisasi Kepala KPP tempat salah satu pihak
pembayar penghasilan terdaftar kepada pihak yang membayar penghasilan.
Kepala KPP yang melegalisasi fotokopi tersebut wajib memegang aslinya.
c.
Surat Keterangan Domisili tidak diperlukan bagi bank-bank atau
lembaga-lembaga keuangan yang secara tegas disebut dalam P3B yang
bersangkutan. Bagi bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan tersebut
langsung diterapkan ketentuan-ketentuan sesuai dengan P3B yang
bersangkutan.
Dalam hal terdapat
bank atau lembaga keuangan yang tidak disebutkan secara tegas dalam
P3B, tetapi berdasarkan persetujuan Competent Authority Indonesia dan
negara treaty partner yang bersangkutan disetujui sebagai badan yang
penghasilannya dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26, maka bank atau
lembaga keuangan tersebut diperlakukan sama dengan bank atau lembaga
keuangan yang secara tegas disebutkan dalam P3B, yaitu tidak diperlukan
Surat Keterangan Domisili.
3. Surat Keterangan Domisili
a.
Surat Keterangan Domisili diterbitkan oleh Competent Authority atau
wakilnya yang sah di negara treaty partner. Namun demikian, Surat
Keterangan Domisili yang dibuat oleh pejabat pada Kantor Pajak tempat
Wajib Pajak luar negeri yang bersangkutan terdaftar dapat diterima dan
dipersamakan dengan Surat Keterangan Domisili yang dibuat Competent
Authority.
b. Bentuk Surat
Keterangan Domisili adalah sesuai dengan kelaziman di negara tempat
Wajib Pajak luar negeri berkedudukan, namun sekurang-kurangnya harus
menyatakan bahwa Wajib Pajak luar negeri yang bersangkutan benar
berkedudukan di negara tersebut sesuai dengan ketentuan P3B yang
berlaku, disertai dengan tanggal dan tanda-tangan pejabat yang
menerbitkan Surat Keterangan Domisili tersebut.
c.
Surat Keterangan Domisili berlaku selama 1 (satu) tahun sejak tanggal
diterbitkan, kecuali untuk Wajib Pajak bank. Bagi Wajib Pajak bank,
Surat Keterangan Domisili tersebut berlaku selama bank tersebut tetap
mempunyai alamat yang sama dengan alamat yang tercantum dalam Surat
Keterangan Domisili.
4. Dalam penerapan P3B yang telah berlaku, perlu diperhatikan pula ketentuan-ketentuan yang
menyangkut beberapa hal sebagai berikut:
menyangkut beberapa hal sebagai berikut:
a. Jasa yang dilakukan di luar Indonesia oleh penduduk negara treaty partner.
1).
Berdasarkan P3B yang telah berlaku, pada umumnya imbalan atas jasa yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri merupakan laba usaha
sehingga pengenaan pajaknya hanya dapat dilakukan di Indonesia apabila
Wajib Pajak luar negeri tersebut melakukan jasa di Indonesia melalui
suatu BUT di Indonesia. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa dalam
P3B dengan Jerman,Luxembourg, Swiss dan Pakistan, khususnya yang
berhubungan dengan pemberian jasa teknik, manajemen dan konsultasi yang
dilakukan di Indonesia,dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 meskipun
pemberi jasa tidak mempunyai BUT di Indonesia. Besarnya PPh Pasal 26
tersebut adalah dengan Jerman sebesar 7,5%, dengan Luxembourg sebesar
10%, dengan Swiss sebesar 5%,dan dengan Pakistan sebesar 15%.
2). Penentuan adanya BUT di Indonesia ditentukan berdasarkan jangka waktu (time test) yang berlaku di masing-masing P3B.
- Dalam hal persyaratan jangka waktu untuk adanya BUT di Indonesia dipenuhi maka atas imbalan jasa tersebut dikenakan pajak di Indonesia dan dipotong PPh Pasal 23 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Dalam hal jangka waktu mengenai adanya BUT tidak dipenuhi maka atas imbalan jasa tersebut tidak dapat dikenakan Pajak di Indonesia,kecuali yang dibayar atau terutang kepada penduduk Jerman,Luxembourg, Swiss dan Pakistan. Hak pemajakannya dilakukan oleh negara treaty partner tempat kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar negeri tersebut.
- Dalam hal persyaratan jangka waktu untuk adanya BUT di Indonesia dipenuhi maka atas imbalan jasa tersebut dikenakan pajak di Indonesia dan dipotong PPh Pasal 23 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Dalam hal jangka waktu mengenai adanya BUT tidak dipenuhi maka atas imbalan jasa tersebut tidak dapat dikenakan Pajak di Indonesia,kecuali yang dibayar atau terutang kepada penduduk Jerman,Luxembourg, Swiss dan Pakistan. Hak pemajakannya dilakukan oleh negara treaty partner tempat kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar negeri tersebut.
3). Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas maka perlu ditegaskan bahwa sesuai dengan ketentuan dalam P3B, atas jasa yang dilakukan di luar negeri oleh penduduk negara treaty partner, Indonesia tidak dapat mengenakan PPh atas imbalan jasa tersebut.
b. Pembayaran premi asuransi ke luar negeri.
Atas
pembayaran premi asuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan
di Selandia Baru, Australia, Malaysia dan Arab Saudi, serta di
negara-negara yang belum mempunyai P3B dengan Indonesia, dipotong PPh
Pasal 26 sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor : 624/KMK.04/1994 tanggal 17 Desember 1994. Atas
pembayaran premi asuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan
di negara treaty partner lainnya tidak dipotong PPh Pasal 26.
c. Dividen yang dibayar atau terutang ke luar negeri melalui Custodian.
1).
Berdasarkan asli Surat Keterangan Domisili sebagaimana dimaksud dalam
butir 3 yang ditunjukkan Custodian dan fotokopi diserahkan kepada
emiten, atas dividen yang dibayar atau terutang oleh emiten dipotong PPh
Pasal 26 sesuai dengan tarif menurut P3B yang berlaku.
2).
Atas dividen yang dibayar atau terutang kepada Wajib Pajak luar negeri
penduduk negara yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia, dipotong PPh
Pasal 26 dengan tarif 20% dari jumlah bruto.
d. Beneficial Owner
Khusus
untuk penghasilan dividen, bunga, dan/atau royalti, P3B mengatur bahwa
negara tempat sumber penghasilan dapat mengenakan pajak sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan di negara tersebut. Namun dalam hal
penerima penghasilan adalah beneficial owner, maka pengenaan pajak di
negara tempat penghasilan bersumber tidak boleh melebihi persentase
tertentu (P3B).
Yang dimaksud dengan beneficial owner adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa dividen, bunga, dan/atau royalti, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut. Dengan demikian, apabila penerimaan penghasilan dividen, bunga dan/atau royalti bukan beneficial owner, maka sesuai dengan ketentuan P3B, negara tempat penghasilan bersumber dapat mengenakan pajak sesuai ketentuan perundang-undangan di negara tersebut.
Untuk mendeteksi kebenaran Beneficial Owner hal-hal berikut perlu untuk diperhatikan :
a. Yang dimaksud dengan "beneficial owner" adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan atau Royalti baik Wajib Pajak Perorangan maupun Wajib pajak Badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut.
b. Dengan demikian, maka "special purpose vehicles" dalam bentuk "conduit company", "paper box company","pass-through company" serta yang sejenis lainnya, tidak termasuk dalam pengertian "beneficial owner" tersebut di atas.
c. Apabila terdapat pihak-pihak lain yang bukan merupakan "beneficial owner" sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b tersebut, yang menerima pembayaran Dividen, Bunga dan atau Royalti yang bersumber dari Indonesia, maka pihak yang membayarkan Dividen, Bunga dan atau Royalti tersebut diwajibkan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia dengan tarif 20% (dua puluh perseratus) dari jumlah bruto yang dibayarkan.
Narasumber : buku-buku pajak dan dari berbagai forum pajak
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.